Nama :
Miftahul Mubin
Nim : 2014-66-044
Sesi : 2
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat
ini telah mengalami transisi epidemologi yang ditandai dengan beralihnya
penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser kepada
penyakit tidak menular (non comunicable disease). Perubahan ini dapat dilihat
pada hasil survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 1997 dan Survei Kesehatan
Nasional tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang dewasa
adalah penyakit Kardiovaskuler (Depkes RI, 1997 dan 2000). Perubahan pola
penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan demografis, sosial ekonomi,
dan budaya.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu
dari kelompok
penyakit tidak menular
yang telah menjadi permasalahan kesehatan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungandengan kejadian PPOK, semakin
banyak jumlah perokok khususnya pada usiamuda, serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun diluar ruangan dantempat kerja. Data kesehatan WHO menunjukan
bahwa pada tahun 1990 PPOKmenempati urutan ke 6 sebagai penyebab utama dari
kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke 3
setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.(Depkes 2004).
Data WHO pada tahun 2001
menunjukan angka mortalitas PPOK
adalah 4,8 % dan menduduki urutan ke 4
penyebab kematian di dunia.Sedangkan tahun 2002 telah menempati urutan ke 3
penyebab kematian dunia. Di Indonesia PPOK menempati urutan ke 10 penyebab dari
pada kematian utama. Estimasi prevalensi PPOK di 28 negara adalah 7,6 %.
Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada laki-laki umur <30 tahun sebesar
1,6 % sedangkan perempuan 0,9%. Penyakit Paru Obstruksi Kronik juga termasuk urutan
ke 10 sebagai penyakit yang menjadi beban dunia ( Adina,dkk. 2010). Pada
Penyakit Paru Obstruksi kronik, sesak nafas merupakan gejala utama gangguan
pernafasan. Manifestasi ini muncul saat beraktivitas, dan kemudian berlanjut
hingga saat tidak digunakan aktifitas. Hal ini disebabkan oleh adanya obstruksi
aliran udara pada paru-paru, dan juga adanya peradangan di dalamnya, serta
masih terjadi fase romodelling dan terjadi hepersekresi mukus. Sehingga terjadi
penurunan elastisitas pada paru-paru akibat dari obstruksi pada jalan nafas
yang mengecil, maka menyebabkan ekspirasi udara yang tidak normal dan adanya
hiperinflasi dinamis ( Antoniuet al, 2010).
American
Thoracic Society menjelaskan
bahwa Penyakit Paru
Obstruksi kronik adalah salah satu penyakit
pernafasan dengan kondisi yang dapat dicegah dan dapat diobati, di tandai
dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon imflamasi
paru abnormal terhadap partikel dan gas beracun terutama disebabkan oleh rokok.
Meskipun PPOK mempengaruhi paru3paru, juga menghasilkan konsekuensi pada
sistemik yang signifikan (Jette,2010).
Beberapa metode
intervensi fisioterapi yang diberikan untuk
meringankan derajat sesak nafas pada penderita
PPOK adalah dengan
menerapkan beberapa cara yaitu Rib Cage
Mobilization (Rehman et al, 20113), yang bertujuan untuk
meningkatkan mobilitas dinding dada, fleksibilitas, dan kemampuan dari thorak
setelah itu diharapkan terjadinya peningkatan elastisisas otot-otot intercostal
dan membantu otot secara efektif dalam melakukan kontraksi (Leelarungrayub,
2012), dan tehnik Diaphragmatic Breathing yaitumengurangi gerakan
pernafasan dengan menggunakan otot bantu pernafasan dan memaksimalkan otot
utama dari pernafasan yaitu diafragma.
Dengan demikian apabila
kedua latihan diatas dijadikan dilakukan
secara bersamaan, setelah terjadinya
peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot-otot intercostal pada penderita
PPOK dengan Rib Cage Mobilization,setelah terjadi ralaksasi pada
otot-otot intercostal, dilanjutkan dengan memberikan latihan Diaphragmatic
Breathing, untuk menurunkan frekwensipernafasan dengan menggunakan
otot-otot bantupernafasan, dan meningkatkanpertukaran udara secara efisien
(Kisner, 2007).
Tanda
dan gejala
Gejala paling umum dari PPOK
adalah produksi sputum, sesak napas dan
batuk yang produktif. Gejala-gejala ini muncul dalam jangka waktu yang lama dan
biasanya bertambah parah seiring waktu. Tidak jelas apakah terdapat jenis-jenis
PPOK yang berbeda. Meski sebelumnya dibagi menjadi emfisema dan bronkitis
kronis, emfisema hanya merupakan gambaran dari perubahan kondisi paru dan bukan
penyakit itu sendiri, dan bronkitis kronis hanya merupakan gambaran gejala yang
mungkin timbul atau tidak timbul pada penderita PPOK.
Batuk
Batuk kronis biasanya
merupakan gejala pertama yang muncul. Saat batuk berlangsung selama lebih dari
tiga bulan setahun dalam lebih dari dua tahun, dikombinasikan dengan produksi
sputum dan tidak ada penjelasan lain, maka itu bisa didefinisikan sebagai bronkitis
kronis. Kondisi ini dapat terjadi sebelum PPOK berkembang penuh. Jumlah sputum
yang dihasilkan dapat berubah dalam beberapa jam atau hari. Dalam beberapa
kasus, batuk mungkin tidak muncul atau hanya terjadi sesekali dan bisa saja
tidak produktif. Beberapa penderita PPOK mengira gejala-gejala ini sebagai
"batuk perokok". Sputum dapat ditelan atau dibuang, biasanya
tergantung faktor sosial dan budaya. Batuk-batuk hebat dapat menyebabkan retak tulang iga atau kehilangan kesadaran secara singkat. Mereka yang
menderita PPOK sering mengalami "batuk pilek biasa" yang berlangsung lama.
Sesak Napas
Sesak napas sering kali
merupakan gejala yang dirasakan paling mengganggu. Hal ini sering kali
digambarkan sebagai: "Saya membutuhkan usaha untuk bernapas," atau
"Saya tidak dapat menghirup cukup udara". Istilah berbeda mungkin
digunakan di budaya yang berbeda. Umumnya, sesak napas bertambah buruk dalam
tekanan, yang berlangsung lama, dan bertambah parah seiring waktu. Pada tahap
lanjutan, hal ini berlangsung saat beristirahat dan mungkin berlangsung terus
menerus. Hal ini merupakan sumber dari kegelisahan dan kualitas hidup yang
rendah yang dialami penderita PPOK. Banyak penderita PPOK lanjutan mengalami bernapas melalui bibir yang tertutup
rapat dan tindakan ini dapat meredakan sesak napas bagi
sebagian orang.
Penyebab:
Penyebab
utama PPOK adalah asap tembakau, dengan terpapar karena pekerjaan dan polusi
dari api dalam ruang sebagai penyebab signifikan di beberapa negara. Biasanya,
paparan terjadi selama beberapa dekade sebelum gejalanya berkembang. Komposisi
genetik dalam diri seseorang juga mempengaruhi risiko.
1. Rokok
Pria perokok tembakau pada akhir 1900-an dan
awal 2000-an. Perhatikan bahwa skala yang digunakan untuk wanita berbeda dari
pria.
Faktor
risiko terbesar dari PPOK secara global adalah merokok tembakau.1] Dari semua perokok, 20% diantaranya akan menderita PPOK,
dan setengah dari para perokok seumur hidup akan menderita PPOK. Di Amerika
Serikt dan Inggris, 80-95% dari mereka yang menderita PPOK adalah perokok atau
pernah menjadi perokok. Kemungkinan terkena PPOK akan meningkat seiring dengan paparan rokok total Kemudian, wanita lebih rentan terhadap efek buruk dari
rokok dibandingkan pria. Bagi para
non-perokok, merokok pasif adalah
penyebab dari 20% kasus PPOK. Jenis-jenis rokok lainnya, seperti ganja, cerutu,
dan merokok dengan pipa, juga memiliki risiko. Wanita yang merokok selama kehamilan akan meningkatkan risiko terkena PPOK bagi anak mereka.
2.
Polusi udara
Api untuk
memasak yang berventilasi buruk, kebanyakan berbahan bakar batu bara atau bahan bakar biomasseperti kayu dan kotoran hewan, menghasilkan polusi udara
dalam ruang dan merupakan salah satu
penyebab utama dari PPOK di negara-negara
berkembang. Api ini merupakan metode memasak dan
memanaskan untuk lebih dari 3 juta orang dan wanita menderita dampak
kesehatan yang lebih besar karena paparan yang lebih besar. Bahan ini digunakan
sebagai sumber energi utama di 80% rumah-rumah di India, Cina, dan Afrika sub-Sahara.
Mereka yang
hidup di kota besar memiliki tingkat PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang hidup di pedesaan. Meskipun polusi udara di perkotaan merupakan faktor yang berperan dalam
eksaserbasi, perannya secara menyeluruh sebagai penyebab PPOK masih belum
jelas.ref name=GOLD2013Chp1/> Wilayah dengan kualitas udara luar ruang yang
rendah, termasuk dari gas buang, secara
umum memiliki tingkat PPOK yang lebih tinggi. Namun efek menyeluruh dalam
kaitannya dengan merokok dianggap kecil.
3.
Patofisiologi
PPOK adalah
sejenis penyakit
paru obstruktif yang terjadi saat terdapat
aliran udara yang buruk yang tak dapat diperbaiki secara menyeluruh dan kronis
serta terjadi ketidakmampuan untuk menghembuskan napas secara penuh
(memerangkap udara). Aliran air yang buruk merupakan akibat dari rusaknya
jaringan paru (dikenal sebagai emfisema) dan penyakit saluran udara kecil yang
dikenal sebagai bronkiolitis obstruktif. Kontribusi relatif dari dua faktor ini
bervariasi dari orang ke orang. Kerusakan saluran udara kecil yang parah dapat
mengakibatkan terbentuknya kantung-kantung udara yang besar— yang disebut
sebagai bula—yang menggantikan jaringan paru. Jenis penyakit ini disebut
sebagai emfisema bula.
Mikrografis
menggambarkan emfisema (kiri - ruang kosong yang luas) dan jaringan paru dengan sisa-sisa alveoli (kanan).
PPOK
berkembang sebagai reaksi inflamasi kronis akibat menghirup bahan-bahan
penyebab iritasi . Infeksi bakteri kronis juga dapat memperparah inflamasi ini.
Sel-sel yang meradang termasukgranulosit neutrofil dan makrofas, dua jenis
sel darah putih. Mereka yang merokok mengalami keterlibatan Tc1limfosit dan mereka yang menderita PPOK mengalami keterlibatan eosinofil yang mirip dengan yang ada pada asma. Sebagian dari
reaksi sel ini disebabkan oleh mediator peradangan seperti faktor
kemotaksis. Proses lainnya yang berperan dalam
kerusakan paru adalah tekanan oksidatif
yang dihasilkan karena adanya konsentrasi tinggi dari radikal bebas dalam asap
tembakau dan dibebaskan oleh sel yang terinflamasi, dan hancurnya jaringan penghubung paru-paru oleh protease yang kurang mengandung penghambat
protease. Hancurnya jaringan penghubung di paru-paru
akan mengakibatkan emfisema, yang kemudian menyebabkan buruknya aliran udara,
dan pada `akhirnya, buruknya penyerapan dan pelepasan gas-gas pernapasan.
Penyusutan otot secara umum yang sering terjadi pada PPOK sebagian mungkin
dikarenakan mediator inflamasi yang dilepaskan paru-paru ke dalam darah.
Penyempitan
saluran udara terjadi karena inflamasi dan parut di dalamnya. Hal ini
menyebabkan kesulitan saat menghembuskan napas dengan sepenuhnya. Pengurangan
aliran udara terbesar terjadi saat menghembuskan napas, karena tekanan di dada
menekan saluran udara pada saat itu. Hal ini berakibat udara dari tarikan napas
sebelumnya tetap berada di dalam paru-paru sementara tarikan napas berikutnya
telah dimulai. Hasilnya adalah peningkatan volume total udara di dalam paru-paru
yang dapat terjadi kapan saja, sebuah proses yang disebut sebagai hiperinflasi atau
terperangkapnya udara. Hiperinflasi karena olah raga terkait dengan sesak napas
di PPOK, karena menghirup napas saat paru-paru terisi setengah penuh terasa
kurang nyaman.
Beberapa
orang juga mengalami sedikit gejala hiperresponsif
saluran udara terhadap penyebab iritasi yang
sama dengan yang ditemukan pada asma.
Tingkat oksigen rendah dan, akhirnya, tingginya tingkat karbon dioksisa di darah dapat terjadi karena pertukaran udara
yang buruk akibat berkurangnya ventilasi karena obstruksi saluran udara,
hiperinflasi, dan berkurangnya keinginan untuk bernapas. Selama eksaserbasi,
inflamasi saluran udara akan meningkat, sehingga hiperinflasi meningkat, aliran
udara pernapasan berkurang, dan transfer gas semakin buruk. Hal ini juga akan
mengakibatkan tidak cukupnya ventilasi, dan akhirnya, tingkat oksigen dalam
darah yang rendah.[4] Tingkat oksigen rendah, jika dialami dalam jangka waktu
lama, dapat menyebabkan penyempitan arteri
di paru-paru, sementara emfisema mengakibatkan rusaknya kapilari di paru-paru.
Kedua perubahan ini berakibat meningkatnya tekanan darah di arteri pulmonari,
yang dapat menyebabkan kor pulmonale.
Keparahan
Skala sesak
nafas MRC
|
|
Peringkat
|
Aktivitas
yang terpengaruh
|
1
|
Hanya
aktivitas berat
|
2
|
Jalan
cepat
|
3
|
Dengan
jalan biasa
|
4
|
Setelah
beberapa menit jalan
|
5
|
Dengan
ganti pakaian
|
GOLD grade
|
|
Keparahan
|
FEV1 %
diprediksikan
|
Ringan (EMAS
1)
|
≥80
|
Sedang (EMAS
2)
|
50–79
|
Parah (EMAS
3)
|
30–49
|
Amat parah
(EMAS 4)
|
Ada sejumlah
metode untuk menentukan seberapa COPD mempengaruhi individu tertentu. Kuesioner
(mMRC) yang sudah dimodifikasi Badan
Riset Medis Inggris atau uji penilaian COPD (CAT)
adalah kuesioner sederhana yang bisa digunakan untuk menentukan keparahan
gejala-gejala penyakit. Angka-angka pada CAT berkisar antara 0–40 di mana
semakin tinggi angkanya, semarin parah penyakitnya. Spirometri bisa membantu
menentukan keparahan pembatasan aliran udara. Ini biasanya berdasarkan pada FEV1
yang ditunjukkan sebagai persentase dari yang diperkirakan "normal"
untuk usia, jenis kelamin, tinggi dan berat orang itu. Baik panduan
Amerika maupun Eropa yang direkomendasikan mendasarkan sebagian pengobatan pada
rekomendasi-rekomendasi yang terdapat pada FEV1. Panduan EMAS
menyarankan pembagian orang menjadi empat kategori berdasarkan pengkajian
gejala-gejala penyakit dan pembatasan aliran udara. Penurunan berat badan dan
kelemahan otot, serta adanya penyakit-penyakit lain, juga harus ikut
dipertimbangkan.
Pencegahan:
Kebanyakan
kasus COPD berpotensi untuk bisa dicegah melalui penurunan paparan terhadap
asap dan peningkatan kualitas udara. Vaksinasi flu tahunan
pada mereka yang menderita COPD menurunkan keparahan, lamanya rawat inap dan
kematian. Vaksin pneumokokal bisa juga bermanfaat.
·
Berhenti Merokok
Mencegah
orang agar tidak mulai merokok adalah aspek utama dari pencegahan COPDkebijakan-kebijakan
dari pemerintah, badan-badan kesehatan umum dan organisasi-organisasi anti
rokok bisa menurunkan tingkat merokok dengan mencegah orang agar tidak mulai
merokok dan menganjurkan orang untuk berhenti merokok. Larangan
merokokdi tempat-tempat umum dan tempat kerja adalah
sarana penting untuk menurunkan paparan asap sekunder. Walaupun banyak tempat
sudah menerapkan larangan merokok, dianjurkan agar lebih banyak lagi.
Di kalangan
mereka yang merokok, berhenti merokok adalah satu-satunya cara yang
terbukti untuk memperlambat memburuknya COPD. Bahkan pada tahap
lanjut dari penyakit ini, berhenti merokok bisa menurunkan tingkat memburuknya
fungsi paru-paru dan memperlambat serangan awal kecacatan dan kematian.
Penghentian merokok mulai dengan keputusan untuk berhenti merokok, kemudian
dilanjutkan dengan upaya untuk berhenti. Sering beberapa upaya diperlukan
sebelum pantang jangka panjang tercapai. Upaya melebihi 5 tahun membawa
kesuksesan dalam hampir 40% orang. Beberapa perokok bisa berhasil berhenti
merokok jangka panjang melalui tekad yang keras. Namun merokok sangat adiktif,[61] dan banyak perokok memerlukan bantuan lebih lanjut.
Kesempatan untuk berhenti meningkat dengan dukungan sosial, keterlibatan dalam
program penghentian merokok dan penggunaan obat-obatan seperti terapi
penggantian nikotin, bupropion atau vareniklin.
·
Kesehatan kerja
Sejumlah
tindakan sudah diambil untuk menurunkan kemungkinan pekerja di industri-industri
yang berisiko - seperti pertambangan batubara, konstruksi dan batu bata -
terserang COPD. Contoh-contoh
dari tindakan pencegahan ini termasuk: pembuatan kebijakan umum, pendidikan
pekerja dan manajemen risiko, mempromosikan penghentian merokok, pemeriksaan pekerja apakah ada tanda-tanda awal COPD, dan penggunaan
respirator, dan
pengontrolan debu. Pengontrolan debu yang efektif bisa dicapai dengan
memperbaiki ventilasi, menggunakan semprotan air dan dengan menggunakan
teknik-teknik pertambangan yang meminimalkan timbulnya debu. Bila seorang
pekerja terserang COPD, kerusakan paru-paru selanjutnya bisa diturunkan dengan
menghindari paparan debu yang berkelanjutan, misalnya dengan mengubah peran
kerjanya.
·
Polusi udara
Kualitas
udara di dalam atau di luar ruang bisa ditingkatkan, yang bisa mencegah COPD
atau memperlambat penyakit yang sudah ada. Ini bisa dicapai
dengan upaya kebijakan umum, perubahan budaya, dan keterlibatan pribadi.
Sejumlah
negara maju sudah berhasil meningkatkan kualitas udara luar melalui peraturan-peraturan.
Ini menghasilkan peningkatan dalam fungsi paru-paru penduduknya. Penderita COPD
bisa mengalami lebih sedikit gejala-gejala penyakit bila mereka tinggal di
dalam ruangan saat kualitas udara luar buruk.
Satu upaya
penting adalah menurunkan paparan terhadap asap dari bahan bakar untuk memasak
dan pemanas melalui ventilasi rumah yang lebih baik serta kompor dan cerobong
asap yang lebih baik. Kompor yang tepat bisa meningkatkan kualitas udara dalam
ruang hingga 85%. Penggunaan sumber energi alternatif seperti memasak dengan
panel surya dan pemanas listrik efektif,
demikian juga penggunaan bahas bakar seperti minyak tanah dan batubara
dibandingkan penggunaan biomassa.
·
Latihan
Rehabilitasi paru-paru adalah sebuah program latihan, pengelolaan penyakit dan
konseling, yang dikoordinasikan agar bermanfaat bagi individu. Bagi mereka yang
baru saja mengalami eksaserbasi, rehabilitasi paru-paru tampaknya meningkatkan
kualitas hidup dan kemampuan berlatih secara keseluruhan, dan menurunkan
mortalitas. Program ini juga sudah terbukti meningkatkan kemampuan seseorang
untuk mengendalikan penyakitnya, serta emosinya Latihan bernafas itu sendiri
tampaknya terbatas peranannya.
Kekurangan
atau kelebihan berat badan kurang bisa mempengaruhi gejala-gejala penyakit,
tingkat kecacatan dan prognosis COPD. Penderita COPD yang kekurangan berat
badan bisa meningkatkan kekuatan otot pernafasannya dengan menaikkan asupan
kalorinya. Bila digabungkan dengan latihan rutin atau sebuah program
rehabilitasi paru-paru, ini bisa memperbaiki gejala-gejala COPD. Nutrisi
suplemen bisa berguna bagi mereka yang kekurangan gizi.
·
Bronkodilator
Bronkodilator hirup adalah pengobatan utama yang digunakan dan manfaat keseluruhannya kecil. Ada dua
jenis utama, β2
agonis dan antikolinergik; keduanya
tersedia dalam bentuk bekerja jangka panjang dan jangka pendek. Bronkodilator
menurunkan sesak nafas, suara mengi dan keterbatasan latihan, sehingga
menghasilkan peningkatan kualitas hidup. Tidak
jelas apakah pengobatan itu mengubah perkembangan penyakit yang mendasarinya.
Bagi mereka
yang menderita penyakit ringan, obat-obatan kerja pendek direkomendasikan
berdasarkan sesuai keperluan.
Bagi mereka yang menderita penyakit yang lebih parah, obat-obatan kerja panjang
direkomendasikan Bila bronkodilator kerja panjang tidak memadai, kortikosteroid
hirup biasanya ditambahkan. Dalam kaitannya dengan obat-obatan kerja panjang,
tidak jelas apakah tiotropium
(antikolinergik kerja panjang) atau beta agonis
kerja panjang(LABA) lebih baik, dan mungkin
sebaiknya masing-masing dicoba dan yang bekerja paling baik diteruskan. Kedua
jenis pengobatan tampaknya menurunkan risiko eksaserbasi akut hingga 15-25%.
Walaupun penggunaan kedua jenis obat bersamaan bisa menawarkan faedah, faedah
ini, bila ada, maknanya diragukan.
Ada beberapa
β2 agonis kerja pendek yang tersedia termasuk salbutamol (Ventolin)
dan terbutalin. Obat-obat
itu meringankan gejala-gejala penyakit selama empat hingga enam jam. β2
Agonis kerja panjang seperti salmeterol dan formoterol sering
digunakan sebagai terapi pemeliharaan. Beberapa orang merasa bukti faedah
terbatas sementara yang lain memandang faedahnya sudah terbukti. Penggunaan
jangka panjang tampaknya aman dalam COPD dengan efek-efek samping termasuk gemetar dan palpitasi jantung.
Bila digunakan dengan steroid hirup, pengobatan ini meningkatkan risiko
pneumonia. Walaupun steroid dan LABA bisa bekerja lebih baik bersama, tidak
jelas apakah faedah kecil ini manfaatnya melebihi peningkatan risiko-risikonya.
Ada dua
antikoligernik utama yang digunakan dalam COPD, ipratropium dan tiotropium.
Ipratropium adalah obat kerja pendek sedangkan tiotropium kerja panjang.
Tiotropium dikaitkan dengan penurunan eksaserbasi dan peningkatan kualitas
hidup, dan tiotropium memberikan manfaat itu lebih baik daripada ipratropium.
Ini tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas atau tingkat rawat inap keseluruhan.
Antikolinergik bisa menyebabkan mulut kering dan gejala-gejala penyakit saluran
kencing. Antikoligernik
juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan stroke. Aklidinium, obat kerja
panjang lain yang muncul di pasar dalam tahun 2012, digunakan sebagai
alternatif untuk tiotropium.