Selasa, 29 Maret 2016

Perubahan Pola Penyakit dan Kematian di Indonesia(penyakit paru kronik)

Nama         : Miftahul Mubin

Nim            : 2014-66-044

Sesi            : 2

 

Penyakit Paru Obstruktif Kronik



Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser kepada penyakit tidak menular (non comunicable disease). Perubahan ini dapat dilihat pada hasil survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang dewasa adalah penyakit Kardiovaskuler (Depkes RI, 1997 dan 2000). Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan demografis, sosial ekonomi, dan budaya.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi permasalahan kesehatan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungandengan kejadian PPOK, semakin banyak jumlah perokok khususnya pada usiamuda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun diluar ruangan dantempat kerja. Data kesehatan WHO menunjukan bahwa pada tahun 1990 PPOKmenempati urutan ke 6 sebagai penyebab utama dari kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.(Depkes 2004).

Data WHO pada tahun 2001 menunjukan angka mortalitas PPOK
adalah 4,8 % dan menduduki urutan ke 4 penyebab kematian di dunia.Sedangkan tahun 2002 telah menempati urutan ke 3 penyebab kematian dunia. Di Indonesia PPOK menempati urutan ke 10 penyebab dari pada kematian utama. Estimasi prevalensi PPOK di 28 negara adalah 7,6 %. Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada laki-laki umur <30 tahun sebesar 1,6 % sedangkan perempuan 0,9%. Penyakit Paru Obstruksi Kronik juga termasuk urutan ke 10 sebagai penyakit yang menjadi beban dunia ( Adina,dkk. 2010). Pada Penyakit Paru Obstruksi kronik, sesak nafas merupakan gejala utama gangguan pernafasan. Manifestasi ini muncul saat beraktivitas, dan kemudian berlanjut hingga saat tidak digunakan aktifitas. Hal ini disebabkan oleh adanya obstruksi aliran udara pada paru-paru, dan juga adanya peradangan di dalamnya, serta masih terjadi fase romodelling dan terjadi hepersekresi mukus. Sehingga terjadi penurunan elastisitas pada paru-paru akibat dari obstruksi pada jalan nafas yang mengecil, maka menyebabkan ekspirasi udara yang tidak normal dan adanya hiperinflasi dinamis ( Antoniuet al, 2010).
American Thoracic Society menjelaskan bahwa Penyakit Paru
Obstruksi kronik adalah salah satu penyakit pernafasan dengan kondisi yang dapat dicegah dan dapat diobati, di tandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon imflamasi paru abnormal terhadap partikel dan gas beracun terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK mempengaruhi paru3paru, juga menghasilkan konsekuensi pada sistemik yang signifikan (Jette,2010).
Beberapa metode intervensi fisioterapi yang diberikan untuk
meringankan derajat sesak nafas pada penderita PPOK adalah dengan
menerapkan beberapa cara yaitu Rib Cage Mobilization (Rehman et al, 20113), yang bertujuan untuk meningkatkan mobilitas dinding dada, fleksibilitas, dan kemampuan dari thorak setelah itu diharapkan terjadinya peningkatan elastisisas otot-otot intercostal dan membantu otot secara efektif dalam melakukan kontraksi (Leelarungrayub, 2012), dan tehnik Diaphragmatic Breathing yaitumengurangi gerakan pernafasan dengan menggunakan otot bantu pernafasan dan memaksimalkan otot utama dari pernafasan yaitu diafragma.

Dengan demikian apabila kedua latihan diatas dijadikan dilakukan
secara bersamaan, setelah terjadinya peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot-otot intercostal pada penderita PPOK dengan Rib Cage Mobilization,setelah terjadi ralaksasi pada otot-otot intercostal, dilanjutkan dengan memberikan latihan Diaphragmatic Breathing, untuk menurunkan frekwensipernafasan dengan menggunakan otot-otot bantupernafasan, dan meningkatkanpertukaran udara secara efisien (Kisner, 2007).

Tanda dan gejala

Gejala paling umum dari PPOK adalah produksi sputum, sesak napas dan batuk yang produktif. Gejala-gejala ini muncul dalam jangka waktu yang lama dan biasanya bertambah parah seiring waktu. Tidak jelas apakah terdapat jenis-jenis PPOK yang berbeda. Meski sebelumnya dibagi menjadi emfisema dan bronkitis kronis, emfisema hanya merupakan gambaran dari perubahan kondisi paru dan bukan penyakit itu sendiri, dan bronkitis kronis hanya merupakan gambaran gejala yang mungkin timbul atau tidak timbul pada penderita PPOK.

Batuk

Batuk kronis biasanya merupakan gejala pertama yang muncul. Saat batuk berlangsung selama lebih dari tiga bulan setahun dalam lebih dari dua tahun, dikombinasikan dengan produksi sputum dan tidak ada penjelasan lain, maka itu bisa didefinisikan sebagai bronkitis kronis. Kondisi ini dapat terjadi sebelum PPOK berkembang penuh. Jumlah sputum yang dihasilkan dapat berubah dalam beberapa jam atau hari. Dalam beberapa kasus, batuk mungkin tidak muncul atau hanya terjadi sesekali dan bisa saja tidak produktif. Beberapa penderita PPOK mengira gejala-gejala ini sebagai "batuk perokok". Sputum dapat ditelan atau dibuang, biasanya tergantung faktor sosial dan budaya. Batuk-batuk hebat dapat menyebabkan retak tulang iga atau kehilangan kesadaran secara singkat. Mereka yang menderita PPOK sering mengalami "batuk pilek biasa" yang berlangsung lama.

Sesak Napas

Sesak napas sering kali merupakan gejala yang dirasakan paling mengganggu. Hal ini sering kali digambarkan sebagai: "Saya membutuhkan usaha untuk bernapas," atau "Saya tidak dapat menghirup cukup udara". Istilah berbeda mungkin digunakan di budaya yang berbeda. Umumnya, sesak napas bertambah buruk dalam tekanan, yang berlangsung lama, dan bertambah parah seiring waktu. Pada tahap lanjutan, hal ini berlangsung saat beristirahat dan mungkin berlangsung terus menerus. Hal ini merupakan sumber dari kegelisahan dan kualitas hidup yang rendah yang dialami penderita PPOK. Banyak penderita PPOK lanjutan mengalami bernapas melalui bibir yang tertutup rapat dan tindakan ini dapat meredakan sesak napas bagi sebagian orang.

Penyebab:

Penyebab utama PPOK adalah asap tembakau, dengan terpapar karena pekerjaan dan polusi dari api dalam ruang sebagai penyebab signifikan di beberapa negara. Biasanya, paparan terjadi selama beberapa dekade sebelum gejalanya berkembang. Komposisi genetik dalam diri seseorang juga mempengaruhi risiko.

1.     Rokok

Pria perokok tembakau pada akhir 1900-an dan awal 2000-an. Perhatikan bahwa skala yang digunakan untuk wanita berbeda dari pria.
Faktor risiko terbesar dari PPOK secara global adalah merokok tembakau.1] Dari semua perokok, 20% diantaranya akan menderita PPOK, dan setengah dari para perokok seumur hidup akan menderita PPOK. Di Amerika Serikt dan Inggris, 80-95% dari mereka yang menderita PPOK adalah perokok atau pernah menjadi perokok. Kemungkinan terkena PPOK akan meningkat seiring dengan paparan rokok total Kemudian, wanita lebih rentan terhadap efek buruk dari rokok dibandingkan pria.  Bagi para non-perokok, merokok pasif adalah penyebab dari 20% kasus PPOK. Jenis-jenis rokok lainnya, seperti ganja, cerutu, dan merokok dengan pipa, juga memiliki risiko. Wanita yang merokok selama kehamilan akan meningkatkan risiko terkena PPOK bagi anak mereka.

2.     Polusi udara

Api untuk memasak yang berventilasi buruk, kebanyakan berbahan bakar batu bara atau bahan bakar biomasseperti kayu dan kotoran hewan, menghasilkan polusi udara dalam ruang dan merupakan salah satu penyebab utama dari PPOK di negara-negara berkembang. Api ini merupakan metode memasak dan memanaskan untuk lebih dari 3 juta orang dan wanita menderita dampak kesehatan yang lebih besar karena paparan yang lebih besar. Bahan ini digunakan sebagai sumber energi utama di 80% rumah-rumah di India, Cina, dan Afrika sub-Sahara.
Mereka yang hidup di kota besar memiliki tingkat PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hidup di pedesaan. Meskipun polusi udara di perkotaan merupakan faktor yang berperan dalam eksaserbasi, perannya secara menyeluruh sebagai penyebab PPOK masih belum jelas.ref name=GOLD2013Chp1/> Wilayah dengan kualitas udara luar ruang yang rendah, termasuk dari gas buang, secara umum memiliki tingkat PPOK yang lebih tinggi. Namun efek menyeluruh dalam kaitannya dengan merokok dianggap kecil.

3.     Patofisiologi

 Di sebelah kiri adalah diagram paru-paru dan saluran udara dengan inset yang menunjukkan tampang-lintang yang mendetail dari bronkiole dan alveoliyang normal. Di sebelah kanan adalah paru-paru yang rusak karena PPOK dengan inset yang menunjukkan tampang-lintang dari bronkiole dan alveoli yang rusak
PPOK adalah sejenis penyakit paru obstruktif yang terjadi saat terdapat aliran udara yang buruk yang tak dapat diperbaiki secara menyeluruh dan kronis serta terjadi ketidakmampuan untuk menghembuskan napas secara penuh (memerangkap udara). Aliran air yang buruk merupakan akibat dari rusaknya jaringan paru (dikenal sebagai emfisema) dan penyakit saluran udara kecil yang dikenal sebagai bronkiolitis obstruktif. Kontribusi relatif dari dua faktor ini bervariasi dari orang ke orang. Kerusakan saluran udara kecil yang parah dapat mengakibatkan terbentuknya kantung-kantung udara yang besar— yang disebut sebagai bula—yang menggantikan jaringan paru. Jenis penyakit ini disebut sebagai emfisema bula.
Mikrografis menggambarkan emfisema (kiri - ruang kosong yang luas) dan jaringan paru dengan sisa-sisa alveoli (kanan).
PPOK berkembang sebagai reaksi inflamasi kronis akibat menghirup bahan-bahan penyebab iritasi . Infeksi bakteri kronis juga dapat memperparah inflamasi ini. Sel-sel yang meradang termasukgranulosit neutrofil dan makrofas, dua jenis sel darah putih. Mereka yang merokok mengalami keterlibatan Tc1limfosit dan mereka yang menderita PPOK mengalami keterlibatan eosinofil yang mirip dengan yang ada pada asma. Sebagian dari reaksi sel ini disebabkan oleh mediator peradangan seperti faktor kemotaksis. Proses lainnya yang berperan dalam kerusakan paru adalah tekanan oksidatif yang dihasilkan karena adanya konsentrasi tinggi dari radikal bebas dalam asap tembakau dan dibebaskan oleh sel yang terinflamasi, dan hancurnya jaringan penghubung paru-paru oleh protease yang kurang mengandung penghambat protease. Hancurnya jaringan penghubung di paru-paru akan mengakibatkan emfisema, yang kemudian menyebabkan buruknya aliran udara, dan pada `akhirnya, buruknya penyerapan dan pelepasan gas-gas pernapasan. Penyusutan otot secara umum yang sering terjadi pada PPOK sebagian mungkin dikarenakan mediator inflamasi yang dilepaskan paru-paru ke dalam darah.
Penyempitan saluran udara terjadi karena inflamasi dan parut di dalamnya. Hal ini menyebabkan kesulitan saat menghembuskan napas dengan sepenuhnya. Pengurangan aliran udara terbesar terjadi saat menghembuskan napas, karena tekanan di dada menekan saluran udara pada saat itu. Hal ini berakibat udara dari tarikan napas sebelumnya tetap berada di dalam paru-paru sementara tarikan napas berikutnya telah dimulai. Hasilnya adalah peningkatan volume total udara di dalam paru-paru yang dapat terjadi kapan saja, sebuah proses yang disebut sebagai hiperinflasi atau terperangkapnya udara. Hiperinflasi karena olah raga terkait dengan sesak napas di PPOK, karena menghirup napas saat paru-paru terisi setengah penuh terasa kurang nyaman.
Beberapa orang juga mengalami sedikit gejala hiperresponsif saluran udara terhadap penyebab iritasi yang sama dengan yang ditemukan pada asma.
Tingkat oksigen rendah dan, akhirnya, tingginya tingkat karbon dioksisa di darah dapat terjadi karena pertukaran udara yang buruk akibat berkurangnya ventilasi karena obstruksi saluran udara, hiperinflasi, dan berkurangnya keinginan untuk bernapas. Selama eksaserbasi, inflamasi saluran udara akan meningkat, sehingga hiperinflasi meningkat, aliran udara pernapasan berkurang, dan transfer gas semakin buruk. Hal ini juga akan mengakibatkan tidak cukupnya ventilasi, dan akhirnya, tingkat oksigen dalam darah yang rendah.[4] Tingkat oksigen rendah, jika dialami dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan penyempitan arteri di paru-paru, sementara emfisema mengakibatkan rusaknya kapilari di paru-paru. Kedua perubahan ini berakibat meningkatnya tekanan darah di arteri pulmonari, yang dapat menyebabkan kor pulmonale.

Keparahan

Skala sesak nafas MRC
Peringkat
Aktivitas yang terpengaruh
1
Hanya aktivitas berat
2
Jalan cepat
3
Dengan jalan biasa
4
Setelah beberapa menit jalan
5
Dengan ganti pakaian

GOLD grade
Keparahan
FEV1 % diprediksikan
Ringan (EMAS 1)
≥80
Sedang (EMAS 2)
50–79
Parah (EMAS 3)
30–49
Amat parah (EMAS 4)
Ada sejumlah metode untuk menentukan seberapa COPD mempengaruhi individu tertentu. Kuesioner (mMRC) yang sudah dimodifikasi Badan Riset Medis Inggris atau uji penilaian COPD (CAT) adalah kuesioner sederhana yang bisa digunakan untuk menentukan keparahan gejala-gejala penyakit. Angka-angka pada CAT berkisar antara 0–40 di mana semakin tinggi angkanya, semarin parah penyakitnya. Spirometri bisa membantu menentukan keparahan pembatasan aliran udara. Ini biasanya berdasarkan pada FEV1 yang ditunjukkan sebagai persentase dari yang diperkirakan "normal" untuk usia, jenis kelamin, tinggi dan berat orang itu.  Baik panduan Amerika maupun Eropa yang direkomendasikan mendasarkan sebagian pengobatan pada rekomendasi-rekomendasi yang terdapat pada FEV1. Panduan EMAS menyarankan pembagian orang menjadi empat kategori berdasarkan pengkajian gejala-gejala penyakit dan pembatasan aliran udara. Penurunan berat badan dan kelemahan otot, serta adanya penyakit-penyakit lain, juga harus ikut dipertimbangkan.

Pencegahan:

Kebanyakan kasus COPD berpotensi untuk bisa dicegah melalui penurunan paparan terhadap asap dan peningkatan kualitas udara. Vaksinasi flu tahunan pada mereka yang menderita COPD menurunkan keparahan, lamanya rawat inap dan kematian. Vaksin pneumokokal bisa juga bermanfaat.

·        Berhenti Merokok

Mencegah orang agar tidak mulai merokok adalah aspek utama dari pencegahan COPDkebijakan-kebijakan dari pemerintah, badan-badan kesehatan umum dan organisasi-organisasi anti rokok bisa menurunkan tingkat merokok dengan mencegah orang agar tidak mulai merokok dan menganjurkan orang untuk berhenti merokok.  Larangan merokokdi tempat-tempat umum dan tempat kerja adalah sarana penting untuk menurunkan paparan asap sekunder. Walaupun banyak tempat sudah menerapkan larangan merokok, dianjurkan agar lebih banyak lagi.
Di kalangan mereka yang merokok, berhenti merokok adalah satu-satunya cara yang terbukti untuk memperlambat memburuknya COPD.  Bahkan pada tahap lanjut dari penyakit ini, berhenti merokok bisa menurunkan tingkat memburuknya fungsi paru-paru dan memperlambat serangan awal kecacatan dan kematian. Penghentian merokok mulai dengan keputusan untuk berhenti merokok, kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk berhenti. Sering beberapa upaya diperlukan sebelum pantang jangka panjang tercapai. Upaya melebihi 5 tahun membawa kesuksesan dalam hampir 40% orang. Beberapa perokok bisa berhasil berhenti merokok jangka panjang melalui tekad yang keras. Namun merokok sangat adiktif,[61] dan banyak perokok memerlukan bantuan lebih lanjut. Kesempatan untuk berhenti meningkat dengan dukungan sosial, keterlibatan dalam program penghentian merokok dan penggunaan obat-obatan seperti terapi penggantian nikotin, bupropion atau vareniklin.

·        Kesehatan kerja

Sejumlah tindakan sudah diambil untuk menurunkan kemungkinan pekerja di industri-industri yang berisiko - seperti pertambangan batubara, konstruksi dan batu bata - terserang COPD.  Contoh-contoh dari tindakan pencegahan ini termasuk: pembuatan kebijakan umum, pendidikan pekerja dan manajemen risiko, mempromosikan penghentian merokok, pemeriksaan pekerja apakah ada tanda-tanda awal COPD, dan penggunaan respirator, dan pengontrolan debu. Pengontrolan debu yang efektif bisa dicapai dengan memperbaiki ventilasi, menggunakan semprotan air dan dengan menggunakan teknik-teknik pertambangan yang meminimalkan timbulnya debu. Bila seorang pekerja terserang COPD, kerusakan paru-paru selanjutnya bisa diturunkan dengan menghindari paparan debu yang berkelanjutan, misalnya dengan mengubah peran kerjanya.

·        Polusi udara

Kualitas udara di dalam atau di luar ruang bisa ditingkatkan, yang bisa mencegah COPD atau memperlambat penyakit yang sudah ada.  Ini bisa dicapai dengan upaya kebijakan umum, perubahan budaya, dan keterlibatan pribadi.
Sejumlah negara maju sudah berhasil meningkatkan kualitas udara luar melalui peraturan-peraturan. Ini menghasilkan peningkatan dalam fungsi paru-paru penduduknya. Penderita COPD bisa mengalami lebih sedikit gejala-gejala penyakit bila mereka tinggal di dalam ruangan saat kualitas udara luar buruk.
Satu upaya penting adalah menurunkan paparan terhadap asap dari bahan bakar untuk memasak dan pemanas melalui ventilasi rumah yang lebih baik serta kompor dan cerobong asap yang lebih baik. Kompor yang tepat bisa meningkatkan kualitas udara dalam ruang hingga 85%. Penggunaan sumber energi alternatif seperti memasak dengan panel surya dan pemanas listrik efektif, demikian juga penggunaan bahas bakar seperti minyak tanah dan batubara dibandingkan penggunaan biomassa.


·        Latihan

Rehabilitasi paru-paru adalah sebuah program latihan, pengelolaan penyakit dan konseling, yang dikoordinasikan agar bermanfaat bagi individu. Bagi mereka yang baru saja mengalami eksaserbasi, rehabilitasi paru-paru tampaknya meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan berlatih secara keseluruhan, dan menurunkan mortalitas. Program ini juga sudah terbukti meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan penyakitnya, serta emosinya Latihan bernafas itu sendiri tampaknya terbatas peranannya.
Kekurangan atau kelebihan berat badan kurang bisa mempengaruhi gejala-gejala penyakit, tingkat kecacatan dan prognosis COPD. Penderita COPD yang kekurangan berat badan bisa meningkatkan kekuatan otot pernafasannya dengan menaikkan asupan kalorinya. Bila digabungkan dengan latihan rutin atau sebuah program rehabilitasi paru-paru, ini bisa memperbaiki gejala-gejala COPD. Nutrisi suplemen bisa berguna bagi mereka yang kekurangan gizi.

·        Bronkodilator

Bronkodilator hirup adalah pengobatan utama yang digunakan  dan manfaat keseluruhannya kecil. Ada dua jenis utama, β2 agonis dan antikolinergik; keduanya tersedia dalam bentuk bekerja jangka panjang dan jangka pendek. Bronkodilator menurunkan sesak nafas, suara mengi dan keterbatasan latihan, sehingga menghasilkan peningkatan kualitas hidup. Tidak jelas apakah pengobatan itu mengubah perkembangan penyakit yang mendasarinya.
Bagi mereka yang menderita penyakit ringan, obat-obatan kerja pendek direkomendasikan berdasarkan sesuai keperluan. Bagi mereka yang menderita penyakit yang lebih parah, obat-obatan kerja panjang direkomendasikan Bila bronkodilator kerja panjang tidak memadai, kortikosteroid hirup biasanya ditambahkan. Dalam kaitannya dengan obat-obatan kerja panjang, tidak jelas apakah tiotropium (antikolinergik kerja panjang) atau beta agonis kerja panjang(LABA) lebih baik, dan mungkin sebaiknya masing-masing dicoba dan yang bekerja paling baik diteruskan. Kedua jenis pengobatan tampaknya menurunkan risiko eksaserbasi akut hingga 15-25%. Walaupun penggunaan kedua jenis obat bersamaan bisa menawarkan faedah, faedah ini, bila ada, maknanya diragukan.
Ada beberapa β2 agonis kerja pendek yang tersedia termasuk salbutamol (Ventolin) dan terbutalin. Obat-obat itu meringankan gejala-gejala penyakit selama empat hingga enam jam. β2 Agonis kerja panjang seperti salmeterol dan formoterol sering digunakan sebagai terapi pemeliharaan. Beberapa orang merasa bukti faedah terbatas sementara yang lain memandang faedahnya sudah terbukti. Penggunaan jangka panjang tampaknya aman dalam COPD dengan efek-efek samping termasuk gemetar dan palpitasi jantung. Bila digunakan dengan steroid hirup, pengobatan ini meningkatkan risiko pneumonia. Walaupun steroid dan LABA bisa bekerja lebih baik bersama, tidak jelas apakah faedah kecil ini manfaatnya melebihi peningkatan risiko-risikonya.
Ada dua antikoligernik utama yang digunakan dalam COPD, ipratropium dan tiotropium. Ipratropium adalah obat kerja pendek sedangkan tiotropium kerja panjang. Tiotropium dikaitkan dengan penurunan eksaserbasi dan peningkatan kualitas hidup, dan tiotropium memberikan manfaat itu lebih baik daripada ipratropium. Ini tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas atau tingkat rawat inap keseluruhan. Antikolinergik bisa menyebabkan mulut kering dan gejala-gejala penyakit saluran kencing.  Antikoligernik juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan stroke. Aklidinium, obat kerja panjang lain yang muncul di pasar dalam tahun 2012, digunakan sebagai alternatif untuk tiotropium.